Luka Tusuk Kehidupan

Sarah Naura Irbah
5 min readFeb 18, 2020

Sakit. Begitu sakit rasanya jika permasalahan dan cobaan hidup kian menghampiri. Permasalahan dan cobaan tentu dapat beragam contohnya, seperti cobaan mental, fisik, batin, finansial, maupun sosial. Beragam jenis permasalahan dan cobaan tersebut tentu menggoreskan luka yang mendalam bagi siapapun yang menerimanya. Sekarang, bagaimana jikalau permasalahan dan cobaan tersebut kita anggap sebagai luka secara terminologi harfiah? Permasalahan dan cobaan sosial contohnya. Karena aspek problematika tersebut sering menjangkit pada hampir setiap individu, mari kita analogikan permasalahan mengenai hubungan antarmanusia termasuk entitasnya sebuah luka tusuk yang amat pedih nan perih. Selanjutnya kita analogikan bahwa proses penyelesaian masalah untuk mencapai solusi dan resolusi dapat diibaratkan dengan membersihkan dan menjahit luka tusuk tersebut. Uraian yang akan saya paparkan merupakan merupakan fenomena yang kerap terjadi di sekeliling saya berdasarkan observasi subjektif serta pengalaman empiris.

Luka Tusuk yang Dipaksa Ditutup
Luka tusuk kehidupan jenis ini merupakan jenis proses yang paling saya temukan di society kita. Seperti yang kita ketahui, luka tusuk bersifat tidak steril. Sangat mungkin pada luka tersebut terdapat butir pasir, mikroorganisme, zat-zat kimia, serta kotoran dari benda tajam yang digunakan sebagai alat tusuk. Luka tersebut sangat kotor, pedih, dan perih. Individu yang mengalami luka tusuk kehidupan pertama kalinya tentu tidak akan tahan dengan gejolak rasa sakit yang dialaminya. Sudah barang tentu kita ketahui juga bahwa luka tersebut haruslah dibersihkan sebelum ditutup rapat dengan jahitan. Namun apa yang terjadi pada society kita jika mengalami luka tusuk? Kebanyakan dari mereka memilih untuk memaksa menutup lukanya tanpa dibersihkan terlebih dahulu. Mereka memilih untuk cepat-cepat menutup lukanya agar berhenti berdarah, agar tidak lagi mengalami pedih dan perih, dan terutama, mereka tidak ingin mengingat buruknya memori dari luka tusuk kehidupan itu lagi. Mereka lebih memilih untuk menjahit dengan rapat luka tersebut dengan meninggalkan sisa kotoran, butiran pasir, kuman, dan berbagai macam hal buruk di bawah luka tersebut. Apa yang akan terjadi pada luka demikian? Apa yang terjadi pada luka kehidupan yang seperti itu? Tak lama kemudian luka tersebut tentu akan berkembang menjadi infeksi lokal yang berkembang ke bagian sekitarnya…dimana hal tersebut justru semakin menambah rasa sakit dan perih. Luka tersebut akan mencederai struktur anatomi penting di sekitarnya…mungkin termasuk saraf dan pembuluh darah, yang bila cedera maka akan berakibat fatal berupa disfungsi dari bagian tubuh area luka tersebut. Hanya karena sebuah luka yang dipaksa ditutup…hanya karena tidak ingin mengalami kesedihan berlarut…justru society ini melahirkan luka yang lebih dalam dari sebelumnya…Mereka cenderung untuk menutup permasalahan yang ada dengan “terpaksa” melupakannya dan tidak melihatnya kembali. Mereka tidak peduli bahwa permasalahan yang ditutup tanpa proses penyelesaian justru akan menyisakan memori yang menyakitkan…dan akan terus terasa sakit ketika teringat oleh pelaku yang menggoreskan luka tusuk tersebut. Kiranya begitulah hubungan antarmanusia yang enggan menyelesaikan problematikanya dan justru menjahitnya dengan rapat, tanpa berpikir dampak yang ia perbuat di masa depan justru akan semakin menyakiti dirinya sendiri. Kiranya dijadikan sebuah refleksi, mengapa society kita cenderung memilih opsi ini ketika mendapati luka tusuk kehidupan?

Luka Tusuk yang Layak Ditutup
Fenomena ini sangat jarang saya temukan di lingkungan sosial, karena inilah proses kehidupan yang paling berat. Tentu kita mengetahui bahwa membersihkan luka, terlebih luka tusuk yang dalam, merupakan pengalaman pahit yang sangat menyayat perasaan. Membersihkan luka dari mulai mengguyur dengan cairan fisiologis, mengoleskan dengan antiseptik, mengambil beberapa benda berbahaya seperti butir pasir maupun pecahan benda lain, menggunting jaringan yang sudah mati, dan sebagainya….tentu rangkaian proses tersebut merupakan proses yang menyakitkan. Namun jikalau society ini dapat berpikir jauh ke depan, maka akan lahir pemikiran bahwa luka tersebut sudah bersih dan layak untuk ditutup sehingga tidak akan menimbulkan rasa sakit dan infeksi di kemudian hari. Jika lebih bersikap open minded dan lebih menerima, tentu society ini akan rela menghadapi seluruh rasa sakit ketika luka tersebut dibersihkan, rela menerima proses yang tidak mengenakkan memori demi kebaikan, dengan kata singkat bahwa society ini akan rela menjalani seluruh proses yang memang tidak berkenan di hati namun untuk mencapai solusi dan resolusi bersama…yang kemudian luka tersebut menjadi bersih, steril, layak untuk dijahit, dan bahkan tidak akan menimbulkan bekas yang terlihat di masa depan. Mengapa society kita merasa berat untuk melakukan hal ini? mengapa sangat sedikit individu yang rela menyelami seluruh rasa pedih dan perih ini untuk mengclearkan seluruh permasalahan yang ada? Mengapa mereka tidak saling menerima ketika lukanya akan dibersihkan? Apakah mereka sadar bahwasannya dengan membersihkan luka tersebut, kendati tentu pedih dan perih, sejatinya mereka telah saling melakukan introspeksi satu sama lain dan mempoint out kesalahan pihak oposisi, kemudian menyadari peran dan posisi masing-masing dan justru berkeyakinan tidak ada bekas luka yang tersisa? Dengan demikian, proses pembersihan luka dilakukan dengan cara yang ideal. Setiap permasalahan (batu pasir, kuman, jaringan mati) akan diangkat, dibersihkan, dan dicari solusinya sehingga luka kembali bersih dan bisa dijahit tidak akan meninggalkan bekas. Mengapa berat untuk dilaksanakan? Apakah beratnya hati mengalahkan beratnya rasa pedih dan perih dari proses pembersihan luka tersebut? Mengapa tak mampu untuk menahan rasa sakitnya ketika mereka lebih tau bahwa nilai benefit jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai risknya? Mungkin pikiran mereka mengetahui, mungkin logika mereka berkata demikian…namun hati mereka yang tak pernah siap.

Luka Tusuk yang Dibiarkan Menganga
Tak perlu ditanya…bahwa luka tusuk yang kotor dan dibiarkan menganga tanpa diobati ataupun ditutup sekalipun akan membawa bahaya dan membuka jalan bagi seluruh jenis penyakit untuk dapat hinggap. Mereka beranggapan bahwa luka tersebut akan menutup dengan sendirinya…sembuh dengan sendirinya hanya dengan mengandalkan kemampuan proses fisiologis tubuh yang terbatas. Jika society ini masih dapat berpikir dengan bijak, tentu opsi ini merupakan pilihan terakhir mereka ketika tidak ada jalan lain. Sebegitu pasrah dan bergantung pada keadaan kah untuk dapat melewati seluruh proses ini? Padahal mereka tahu bahwa proses penyembuhan luka tusuk kehidupan ini akan jauh lebih lama, akan jauh lebih sakit, dan tentunya akan meninggalkan bekas nyata yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Bukankah ke depannya akan lebih sakit? Terus terbayang akan luka tusuk tersebut, terus terbayang akan pelaku yang menggoreskan luka tusuk tersebut, dan akan terus merasakan proses penyembuhannya dalam jangka waktu yang lama. Namun…mengapa society masih banyak yang memilih jalan ini untuk mengatasi luka tusuk kehidupannya? Terlalu beratkah bagi mereka untuk sedikit berusaha serta mengorbankan waktu, tenaga, dan perasaan demi menyembuhkan luka tersebut? Mengapa enggan? Mengapa sanski? Ketahuilah bahwa sejatinya prinsip “only time will heal” hanya diperuntukkan bagi hati dan pikiran yang lemah, ditujukan pada mereka yang pasif dan hanya menyakiti diri mereka sendiri, dialami oleh mereka yang enggan dalam meningkatkan taraf derajat kehidupannya untuk menjadi tegar. Hati dan logika mereka tertutup rapat…Menolak bala bantuan datang yang rela membersihkan luka mereka. Tidak. Bahkan hanya untuk menutupnya saja, mereka menolak dengan keras. Mereka lebih memilih mengembargo dan mengisolasikan dirinya dari seluruh hal postitif di sekitarnya yang mungkin akan datang padanya. Mengecewakan. Begitu pasrahnya mereka dengan keadaan bahwa seluruh problematika hidup akan berakhir seiring dengan berjalannya waktu dan pada akhirnya akan teresolusi secara mandiri. Bukankah luka kehidupan ini adalah jenis yang paling perih? Dengan membiarkan adanya luka terbuka yang rawan dihinggapi dengan infeksi (problematika) yang lain, tentu individu justru membuka pintu gerbangnya menuju permasalahan yang lebih kompleks. Luka tusuk yang didapat belum tentu sembuh, bahkan sangat besar kemungkinanya menyebabkan komplikasi berupa kematian jaringan, saraf, otot, dan struktur di sekitarnya yang pada akhirnya hanya amputasi lah satu satunya jalan. Begitulah Anda memilih kehidupan? Mengapa masih ada society yang memilih jalan ini dimana mereka lebih rentan untuk mengalami komplikasi (depresi) yang mana penyakitnya akan berujung pada kematian (bunuh diri). Haruskah problematika kehidupan diselesaikan dengan cara demikian? Haruskah kita menanti ajal hanya untuk menyelesaikan problematika kehidupan? Sungguh ironi.

Jika Anda menerima luka tusuk kehidupan, sekiranya opsi mana yang akan Anda pilih?

Sarah Naura Irbah
Jakarta, 18 Februari 2020

--

--